Model pembelajaran (models of teaching) dalam
konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan
model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat
sebagai “pilihan” guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap
siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa sebagian ahli menunjuk model pembelajaran dalam penjas sebagai
jawaban atas pertanyaan guru tentang ”esensi apa yang diharapkan dari siswa
melalui pendidikan jasmani?“.
Mengikuti alur pikir tentang model di atas, model
pembelajaran pendidikan jasmani dapat dibedakan antara model pendidikan gerak,
model pendidikan olahraga, model pendidikan kebugaran, model kinesiological
studies, model pengembangan disiplin, bahkan model petualangan (Jewet: 1994).
Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami
perbedaan antara satu dengan lainnya.
1. Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan
kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program
pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya
didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi
konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana
tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep
keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut,
merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga
gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut.
Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan
kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar
pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al.,
1984). Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk
mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan
menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992),
mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated
curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari
dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak,
keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi
anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum
tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau
permainan, bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup
kurikulum pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan
dan senam kependidikan.
Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa model
pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer
belajar” dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan
oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak. Kritik lain telah
mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya
pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer and
Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980).
2. Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak membahas tentang
pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for
Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran
pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (steinhard,
1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang
sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam
kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa
adanya usaha karena sebagian besar anak dan remaja tidak memiliki kebiasaan
hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisiknya menurun secara drastis
setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu para siswa
untuk tetap aktif sepanjang hidupnya.
Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif
sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada
alasan individu melakukan aktivitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik
meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan,
(4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan
individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam
menerapkan model kebugaran ini.
1) Dasar penerapan model meliputi:
a) menekankan pada partisipasi yang menyenangkan
pada kegiatan-kegiatan yang mudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
b) menyediakan kegiatan-kegiatan kompetitif dan
non-kompetitif dengan rentang yang bervariasi sesuai dengan tuntutan perbedaan
kemampuan siswa
c) memberikan keterampilan (skill) dan keyakinan
(confidence) yang diperlukan siswa agar dapat berpartisipasi aktif secara fisik.
d) melakukan promosi aktivitas fisik/olahraga pada
seluruh komponen program sekolah dan mengembangkan hubungan antara program
sekolah dan program masyarakat.
Dengan menggunakan dasar penerapan di atas, model
ini diharapkan dapat mengembangkan skill, kebugaran jasmani, pengetahuan,
sikap, dan perilaku yang dapat menggiring siswa memiliki gaya hidup aktif dan
sehat (active-healthy lifestyles). Model pembelajaran ini berkeyakinan bahwa
keberhasilan pendidikan jasmani berawal dari tertanamnya kesenangan siswa
terhadap berbagai aktivitas fisik. Oleh karena itu, berbagai pembekalan seperti
skill, kebugaran jasmani, sikap, pengetahuan, dan perilaku sehari-hari harus
selalu berorientasi pada kesenangan dan keyakinan individu dalam rangka
pembentukan gaya hidup aktif yang sehat di masa yang akan datang.
2) Karakteristik
Model kebugaran ini pada dasarnya merupakan model
yang berorientasi pada materi ajar (subject oriented model), yang berlandaskan
pada orientasi nilai penguasaan materi (disciplinary mastery value
orientation). Namun, pada perkembangan sekarang ini, model ini seringkali
merefleksikan orientasi nilai aktualisasi diri (self-actualization) atau perpaduan
lingkungan (ecological integration). Beberapa program dari model ini,
karenanya, mengintegrasikan pendidikan jasmani dengan konsep gaya hidup sehat
(healthy lifestyle) yang lebih luas dengan komponen-komponen sosio-kultural
(Jewett, dkk., 1995).
Peranan guru dalam penerapan model ini lebih
ditekankan pada upaya untuk membimbing siswa pada program kegiatan kesegaran
jasmani, mengajar keterampilan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan,
menanamkan komitmen terhadap gaya hidup yang aktif, dan mengadministrasi
program asesmen kesegaran jasmani individu siswa. Mengingat kritik yang
mengatakan bahwa ruang lingkup dari program ini sangat terbatas pada aktivitas
kebugaran saja, maka program ini berisikan pengembangan berbagai variasi
keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam
aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik.
3) Isu pelaksanaan model kebugaran jasmani
Realisasi pendidikan jasmani model kebugaran
jasmani seringkali tidak memperhatikan konsep-konsep yang terkait dengan
kebugaran jasmani dan keterkaitan aktivitas fisik untuk meningkatkan status
kebugaran jasmani siswa. Anggapan kuat ciri khas model ini antara lain
berisikan kegiatan tes kesegaran jasmani, membandingkan status siswa dengan
standar orang lain, membujuk siswa dengan istilah “no pain, no gain”, dan
aktivitas fisik di luar DAP yang seakan-akan menyiksa siswa dan merendahkan
siswa. Program ini dibuat seakan-akan untuk mempersiapkan siswa menjadi anggota
militer yang akan berperang. Programnya terfokus pada aktivitas “melatih” dan
bukan “mendidik.” Padahal aspek mendidik ini jauh lebih penting untuk
memelihara gaya hidup dan kesehatan pribadi anak dalam menghadapi era baru dan
teknologi tinggi di masa depan.
Apa yang diajarkan oleh para guru pendidikan jasmani
di sekolah-sekolah sekarang ini sangat mungkin menjadi faktor utama pembentuk
kebiasaan (habit) dan sikap yang dapat dibawa sampai hari tua. Oleh karena itu
harus diyakini bahwa apa yang diprogramkan oleh guru penjas bagi murid-muridnya
harus menjamin terbentuknya kebiasaan positif dalam membentuk hidup aktif.
Masalah-masalah yang terkait dengan program
kebugaran jasmani dalam lingkup pendidikan jasmani memang bersifat sangat
kompleks dan tidak bisa dipecahkan secara sederhana. Apalagi jika memperhitungkan
faktor pengaruh luar yang lebih kuat, seperti siaran TV yang lebih banyak
membentuk kebiasaan hidup yang negatif. Karenanya, di pundak para guru Penjas
terletak kewajiban untuk menyemaikan konsep dan kebiasaan hidup yang bisa
menjamin generasi penerus tidak terancam masalah serius di kemudian hari.
3. Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play
education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini
berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan
merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas
model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport
Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model
kurikulum dalam pembelajaran penjas.
Inspirasi yang melandasi munculnya model ini
terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang
banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun
di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering
tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan
teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya.
Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak
sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai
keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan
pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga.
Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian
tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan
(developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk
sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang
melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model
sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang
selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.
4. Model Pendidikan Kooperatif
a. Tiga Struktur Tujuan dalam Penjas: Kompetitif,
Individual, dan Kooperatif
Untuk memaksimalkan pembelajaran, guru pendidikan
jasmani biasanya harus menetapkan struktur tujuan yang mana yang akan digunakan
untuk menghasilkan pencapaian tujuan bagi sebanyak mungkin siswa. Struktur
tujuan adalah cara siswa berinteraksi secara verbal maupun secara fisik dengan
teman sendiri atau dengan guru ketika terlibat dalam pembelajaran. Keputusan yang
baik tentang tujuan mengarah langsung pada pencapaian hasil pendidikan jasmani,
walaupun sering diabaikan oleh kebanyakan guru penjas.
Pada dasarnya, terdapat tiga struktur tujuan yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kompetitif, individual, dan
kooperatif. Berikut akan dijelaskan masing-masing struktur tujuan tersebut.
1) Struktur Tujuan Kompetitif
Pertandingan regu dan perlombaan adalah dua contoh
dari pembelajaran penjas yang menggunakan struktur tujuan kompetitif. Aktivitas
pertandingan ini biasanya dikategorikan sebagai format “zero sum” di mana ada
satu pemenang dan satu yang kalah, atau berformat “negative sum” dengan satu
pemenang dan banyak yang kalah. Kategori lain bersifat lomba yang meningkat
berkelanjutan (kontinjensi), di mana kelangsungan keikutsertaan ditentukan oleh
keberhasilan yang tidak terputus. Contoh kategori ini dapat dilihat dalam lomba
lompat tinggi, ketika pelompat yang tidak berhasil melalui ketinggian tertentu
harus berhenti atau keluar dari lomba.
Dalam pembelajaran yang berstruktur kompetitif,
siswa bergantung secara negatif kepada yang lain. Ketergantungan negatif
terjadi ketika keberhasilan seorang siswa atau sekelompok siswa terkait erat
dengan ketidakberhasilan siswa atau sekelompok siswa lain. Jenis ketergantungan
demikian sangat nyata terlihat ketika siswa berlomba dalam lompat tinggi atau
beberapa nomor atletik lainnya. Seorang siswa dapat melakukan yang terbaik
ketika siswa yang lain tidak bisa menjadi yang terbaik.
Beberapa hasil positif biasanya dipercayai guru
dalam penggunaan struktur tujuan tersebut dalam pendidikan jasmani. Asumsi
utamanya menunjuk pada kepercayaan bahwa mahluk hidup termasuk manusia memang
memiliki kecenderungan bawaan untuk berkompetisi. Dan karenanya, harus belajar
berkompetisi agar bisa sukses dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Beberapa
ahli umumnya menghubungkan kompetisi dengan hasil-hasil seperti berikut:
• Perkembangan karakter,
• Peningkatan self esteem dan self confidence,
• Motivasi untuk sukses
• Pemantapan keunggulan sebagai tujuan,
• Mempertahankan minat keikutsertaan,
• Rasa keberhasilan pribadi setelah mengalahkan
orang lain,
Cara berpikir alternatif tentang kompetisi dan
pengaruhnya pada pembelajaran timbul ketika asumsi dan hasil yang berbeda mulai
diperhatikan oleh kita. Cukup menarik menemukan fakta bahwa kebanyakan
interaksi harian dalam hidup lebih bersifat kooperatif, tidak kompetitif.
Buktinya kita lebih sering bergantung pada peranan orang di luar diri kita.
Di samping itu, kompetisi dengan sifat sangat
bergantungnya pada standar (misalnya, peraturan, atau peralatan), justru
menghasilkan situasi yang kurang diharapkan pada banyak siswa, sebab mereka
tidaklah bersifat standar. Tetapi, mereka lebih bersifat heterogen dalam
berbagai hal: kemampuan, minat, pengalaman, dan kematangan. Dengan kata lain,
perbedaan individual siswa tidak sejalan dengan persyaratan yang dibutuhkan
untuk kompetisi.
Akibatnya, kompetisi dapat menjadi sebuah
pengalaman yang menghambat pembelajaran bagi banyak siswa. Apalagi, karena
tingginya tingkat kegagalan yang ditemui dalam kompetisi, hanya mereka yang
mempunyai kesempatan untuk berhasil sajalah yang termotivasi. Karenanya,
kompetisi hanya tepat bagi sekelompok siswa terpilih dalam satu kelas yang
menunjukkan tingkat keterampilan dan kebugaran jasmani yang sama serta memilih
untuk membandingkan penampilannya dengan orang lain. Beberapa studi malah
menunjukkan bahwa aktivitas kompetitif membatasi kesempatan belajar siswa.
Seperti juga dilansir oleh beberapa pengamatan,
keikutsertaan dalam aktivitas kompetisi tradisional tidak memberikan kesempatan
pada semua siswa untuk berlatih, menguasai, dan memperhalus keterampilan yang
diperlukan dalam partisipasi mereka. Dengan kata lain, menggunakan aktivitas
pendidikan jasmani format kompetitif dapat menjadi penghalang pada pembelajaran
siswa.
2) Struktur Tujuan Individual
Program Penjas pun terkadang menyandingkan
struktur tujuan individual di dalamnya. Pembelajaran untuk cabang atau jenis
olahraga seperti senam, latihan kebugaran, senam aerobik, atau renang, adalah
beberapa contoh pembelajaran berformat individual.
Pada saat pembelajaran individual, siswa biasanya
tidak saling berhubungan dan tidak saling menggantungkan diri dengan siswa
lain. Ketidakbergantungan tersebut didefinisikan sebagai tidak adanya hubungan
kerja antara individu selama berusaha mencapai tujuan pembelajarannya. Selama
pembelajaran individual, pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak
mempengaruhi pencapaian tujuan dari siswa yang lain. Demikian juga sebaliknya,
tidak adanya usaha pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak juga mempengaruhi
ada atau tidak adanya usaha dari siswa lain.
Saling ketidakbergantungan demikian dapat diamati
ketika seorang siswa sedang berusaha melakukan sebanyak mungkin gerakan push
ups dalam waktu 30 detik. Pencapaian siswa tersebut tidak ada kaitannya dengan
pencapaian atau tidak adanya pencapaian dari siswa lain. Siswa bekerja atau
berlatih sendiri; interaksi di antara siswa tidak dipandang perlu atau didorong
secara sengaja.
Pembelajaran individual dalam pendidikan jasmani
memang mempunyai benang sejarah yang cukup panjang. Program penjas yang pada
masa-masa awal perkembangannya banyak menekankan pada latihan pribadi
(individual) seperti pada senam, atletik, atau keterampilan memainkan bola
(meskipun pelaksanaannya dilakukan bersama-sama). Program pendidikan gerak yang
didasarkan pada teori gerak dari Rudolf Laban merupakan kelanjutan dari
pembelajaran individual. Analisis dari Locke tentang individualisasi dalam
penjas juga merupakan penguat dari pembelajaran individual.
Keyakinan bahwa usaha dan produktivitas hasil dari
pembelajaran individual merupakan hal yang baik sudah diterima secara umum.
Hasil-hasil seperti di bawah ini umumnya diyakini sebagai kelebihan dari
pembelajaran individual:
• Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan kemampuan siswa,
• Memerlukan keterlibatan dari guru yang minimal,
• Pembelajaran individual meningkatkan pencapaian
tujuan,
• Semua siswa mengalami keberhasilan,
• Pembelajaran individual menghilangkan persoalan
sosial,
• Identitas dan karakter pribadi berkembang
melalui kerja mandiri,
• Pembelajaran individual meningkatkan disiplin
pribadi,
• Pembelajaran individual menghilangkan masalah
kedisiplinan kelompok.
Namun demikian, banyak juga para ahli yang
meragukan bahwa pembelajaran individual benar-benar efektif mengembangkan
sifat-sifat di atas. Dari pengamatan, lebih banyak hal kontradiktif dari hasil
di atas yang dapat ditemukan.
Pembelajaran individual, meskipun dipandang tepat
untuk situasi tertentu, namun biasanya tidak berhasil mencapai hasil-hasil di
atas bagi umumnya siswa. Pembelajaran individual tidak mendukung interaksi
interpersonal yang positif di antara siswa karena siswa tidak diharuskan untuk
berinteraksi. Diragukan juga bahwa pembelajaran individual dapat mengeliminir
masalah sosial ketika siswa dipisahkan dari kegiatan temannya, karena saling
ejek, pelabelan stereotipe, dan kecurigaan antar siswa tetap akan dapat
berkembang.
3) Struktur Tujuan Kooperatif
Suatu contoh dari aktivitas penjas yang
menggunakan struktur tujuan kooperatif adalah aktivitas mengumpulkan skor
secara kolektif, di mana semua skor atau penampilan ditambahkan pada skor total
dari kelompok. Ketika guru membangun struktur pembelajaran secara kooperatif,
“saling-ketergantungan positif” berkembang di antara siswa. Pemahaman siswa
bahwa mereka hanya dapat mencapai tujuan kalau siswa yang lain juga mencapai
tujuan merupakan definisi yang tepat dari ketergantungan yang positif. Perasaan
menjadi berada “pada sisi yang sama” adalah hasil dari struktur tujuan
kooperatif.
Contoh lain dari ‘saling-ketergantungan positif’
yang lain dalam aktivitas penjas adalah permainan kelompok piramid kecil.
Ketika guru menyajikan tugas untuk membangun piramid (standen) oleh lima orang
siswa bersamaan, maka semua akan terlibat dalam keseimbangan dan saling
mendukung, siswa secara positif saling tergantung karena setiap siswa harus
menyumbang dengan keseimbangan dan dukungan, atau, kalau tidak, mereka tidak
akan mencapai tujuan sama sekali. Guru yang mengajar dengan pembelajaran
kooperatif akan banyak melihat perilaku-perilaku seperti ini: empati,
memperhatikan, menolong, menyemangati, mengajar, membantu, mendengarkan, dsb.
Dan guru memang harus mengharapkan tumbuhnya manfaat-manfaat demikian pada
siswa melalui keikutsertaannya dalam penjas.
5. Model Pendidikan Pengembangan Disiplin
Untuk menekankan peranan penjas dalam pembentukan
watak dan karakter yang baik, rupanya para guru penjas pun perlu merintis
penerapan model kurikulum humanistik, yang menurut pengembangnya, mampu
meningkatkan rasa tanggung jawab dan disiplin anak. Pelaksanaan model kurikulum
ini secara sederhana dapat diwakili oleh model Hellison yang telah
mengembangkan prosedur untuk mengajak siswanya berlatih bersama meningkatkan
rasa tanggung jawabnya dalam praktek pembelajaran penjas.
Model Hellison
Model Hellison adalah model pengembangan disiplin
yang didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Untuk menerapkannya,
pertama-tama, guru perlu memberikan pemahaman kepada para siswanya, bahwa rasa
tanggung jawab itu berkembang sesuai tingkatannya. Adapun tingkatan tanggung
jawab itu dapat ditunjukkan melalui perilaku-perilaku nyata yang dapat
diidentifikasi secara mudah, terutama dalam proses pembelajaran penjas. Secara
sederhana, tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahapan perkembangan
Tahap 0: Irresponsibility—menggambarkan siswa yang
tidak termotivasi dan tidak disiplin. Pada level ini anak tidak mampu
bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka
mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang
lain secara fisik. Dalam pelajaran penjas, perilaku tersebut terlihat dari:
• Tidak mengikuti pelajaran, malahan mengajak yang
lain untuk berbuat serupa.
• Selalu mengejek teman yang tidak bisa melakukan.
• Tidak pernah mau berbagi giliran dalam
menggunakan alat dengan kawan lain.
• Tidak pernah mendengarkan penjelasan guru.
Bahkan perilaku tersebut akan terbawa atau sering
muncul dalam setting kahidupan anak di tempat yang berbeda, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain
di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap
orang lain
di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang
menjelaskan
dalam Penjas: berebut dengan orang lain pada saat
mendapatkan peralatan.
Tahap 1: Self Control—menggambarkan siswa yang
tidak berpartisipasi atau yang tidak menunjukkan penguasaan atau perbaikan,
tetapi mampu mengontrol perilakunya. Pada level ini anak terlibat dalam
aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa
yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan
aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya:
• Tidak mengikuti pelajaran, tetapi tetap ikut
menghadiri dan memperhatikan pelajaran.
• Tidak mengejek teman,
• Tidak mempengaruhi teman untuk turut bolos.
Dalam setting lain, hal ini terlihat nyata dalam
perilaku berikut:
di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan
dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya.
di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain
bermain
di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat
untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
Tahap 2: Involvement—menggambarkan siswa yang
menunjukkan kontrol diri dan terlibat dalam pelajaran. Anak didik pada level
ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan
dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk
meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya:
• Selalu mengikuti pelajaran.
• Tidak mencari tempat teduh manakala semua anak
tetap terlibat dalam kegiatan belajar.
• Tidak sembunyi-sembunyi untuk menghindari tugas
atau giliran.
Sama halnya, dalam setting lain perilaku tahap ini
akan terlihat dalam hal:
di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring
kotor
di tempat bermain: bermain dengan yang lain
di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan
tugas yang diberikan
dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa
mengeluh dan mengatakan tidak bisa
Tahap 3: Self Direction—menggambarkan siswa yang
belajar mengambil tanggung jawabnya lebih besar atas pilihannya sendiri dan mengaitkan
pilihannya itu dengan identitas dirinya, siswa mampu belajar tanpa pengarahan
dan pengawasan langsung. Pada level ini anak didik didorong untuk mulai
bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar
tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan
secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana
mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau
urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti
ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya
menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan
bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya:
• Selalu giat berlatih walaupun tidak diawasi guru,
• Selalu mencoba lagi walaupun tugas dianggap
sulit,
• Meminta penjelasan dari guru manakala ada tugas
yang tidak jelas.
• Ikut memberikan semangat pada kawan yang
mengalami kesulitan.
Berkembang dalam setting yang berbeda, hal ini
dapat terlihat sebagai berikut:
di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang
menyuruh
di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa
harus disuruh
di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan
bagian dari tugas gurunya
dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru
melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
Tahapan 4: Caring—menggambarkan siswa yang
termotivasi untuk memperluas rasa tanggung jawabnya dengan bekerjasama,
memberikan dukungan, memberikan perhatian, dan menolong siswa lain (Hellison,
1995). Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya,
tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak
didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan
(volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu,
tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya:
• Selalu membantu guru dalam mempersiapkan alat.
• Selalu membantu teman yang mendapatkan kesulitan
belajar.
• Mendukung penuh dan mendorong teman-teman untuk
bersama-sama belajar dengan tekun.
Dalam bentuk lain, perilaku mereka akan terlihat
lebih jelas seperti di bawah ini:
di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang
peliharaan atau bayi.
di tempat bermain: menawarkan pada orang lain
(bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain.
di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan
masalah-masalah pelajaran.
dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama
dengan siapa saja dalam Penjas.
2) Strategi pembelajaran
Untuk memaksimalkan hasil dari penerapan model
Hellison tersebut, guru perlu mengikuti strategi yang tepat seperti di bawah
ini:
Strategi Pengajaran Tanggung Jawab
• Teacher Talk—menjelaskan tahapan, menempatkan
siswa, mengarahkan momen-momen penting dalam pembelajaran.
• Modeling—memberikan pemodelan pada sikap dan
perilaku perkembangan.
• Reinforcement—setiap tindakan guru memperkuat
sikap atau perilaku individu yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Reflection Time—waktu yang diberikan kepada
siswa untuk memikirkan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tahapan
perkembangan.
• Students Sharing—meminta siswa untuk memberikan
pendapat tentang beberapa aspek dari pembelajaran.
• Specific Level-Related Strategies—kegiatan yang
meningkatkan interaksi dengan tahapan yang sedang dijalani;
misalnya penetapan target individu untuk membantu siswa yang berada di tahap 3;
dan pengajaran berbalasan (reciprocal teaching) untuk membantu siswa yang
berada di tahap 4 (Steinhardt, 1992; Hellison, 1984; Hellison, 1995).
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk
menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun
dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa
mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya.
Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk
memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya.
Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan
beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai
kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.
3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development
Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan
model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan
berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran.
Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang
terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan
yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam
Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru
menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level
0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new
skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru
memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja
lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa
tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku
menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada
level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu
berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu
untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan
siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi
pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana
cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya
guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam
bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama
dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah
tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian
kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan
jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung
jawab ini dan seringkali menjadi fokus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar